Friday, December 13, 2013

Surat Tersirat

Sejujurnya aku bingung harus mulai dari mana.

Mungkin pertama-tama aku harus berterima kasih karena kamu telah mengizinkan aku untuk membaca jurnal harianmu. Isinya sedikit banyak membuatku tertawa dan juga terdiam. Iri, senang, dan juga sedih.

Oleh karena itu, izinkan aku juga bercerita mengenai diriku.


Dulu aku memiliki seorang kakak kelas di kampus yang kukagumi diam-diam. Kalau kau bertanya mengapa, aku juga tidak tahu. Mungkin ini adalah cinta pada pandangan pertama. Mungkin ini hanya rasa kagum biasa. Yang aku tahu, ia adalah seorang yang cerdas, soleh, penuh imajinasi, penuh impian, dan rasa ingin tahu. Ia pendiam, namun kata-kata yang keluar dari bibirnya selalu indah dan efisien. Ia seorang yang puitis. Mungkin karena itu aku sempat terbuai dengannya.

Dulu sebelum kenal dengannya, aku memiliki seorang kekasih. Hubungan kami hanya bertahan selama enam bulan karena aku dekat dengan teman sekelasku. Namun hubunganku dengan teman sekelasku ini pun juga kandas tanpa ada ikatan. Sebelum aku terlibat dengan dua orang di atas, ada pula teman semasa kecilku yang tampaknya menaruh hati kepadaku. Karena ia tahu aku sendirian di IPB (tidak punya kakak kelas), maka ia mengerahkan semua teman-teman yang ia kenal di IPB untuk menjagaku.
Entah mengapa hatiku justru tertambat pada dirinya, sang lelaki pemimpi. Aku merelakan semua hubunganku dengan mereka karena tidak ingin melukai mereka lebih jauh. Ya, aku sadar kalau perasaanku lebih berat kepada dirinya.

Dua tahun setengah aku mengagumi dirinya. Aku sadar saat itu bukan waktunya untuk memikirkan suatu hubungan yang biasa orang sebut dengan kata 'pacaran'. Karena itu aku menunggu. Mencintainya dalam diam. Berusaha ada untuknya tanpa harus membebaninya. Sayangnya, terkadang egoku terlalu besar. Sehingga beberapa kali saat ia menyarankan beberapa pilihan yang sebenarnya memberiku peluang untuk bisa lebih dekat dengannya, justru tidak aku ikuti.
Soal himpro misalnya. Dengan tegas, aku menolak untuk luluh dalam perasaanku dan mengikuti sarannya. Dalam beberapa hal, aku tidak ingin kehilangan identitas dan menentukan pilihan hanya karena ikut-ikutan.

Singkat kata, waktu pun terus berjalan. Aku semester 5 dan dia semester 7. Kami semakin jarang bertemu karena jadwal kuliah yang bersamaan. Tiba-tiba aku mendapat kabar dari salah seorang temannya bahwa ia sakit dan tidak dapat mengikuti ujian. Aku juga mendengar kabar bahwa ia terkena masalah dengan salah satu dosen dan penelitiannya gagal.
Jujur, saat itu aku agak panik dan khawatir. Kemudian aku mencoba mengontaknya dengan alasan meminta kembali barangku yang ia pinjam. Setelah akhirnya kami bisa bertemu, ia akhirnya mau mengakui bahwa ia sakit. Sakit jiwa, katanya sambil tersenyum sedih.
Kepalaku seolah dihantam dengan palu besar. Aku marah. Benar-benar marah sampai rasanya ingin menangis di depannya. Aku merasa tidak berguna karena tidak tahu mengenai keadaannya, tidak bisa berbuat apa-apa. Ia bilang kepadaku, bahwa kemungkinan ia akan cuti satu tahun dan kembali ke kampung halamannya.

Aku kalut. Bagaimana aku harus mensupportnya selama satu tahun dari jauh? Bagaimana bisa aku bertahan tanpanya selama satu tahun? namun aku sadar, saat itu ia sedang berada di titik terlemahnya. Oleh karena itu aku harus kuat, aku harus mendukung kesembuhannya.

Aku masih ingat jelas saat itu bulan Januari 2012. Aku harus mempersiapkan diri untuk magang liburan. Waktuku tidak akan cukup banyak untuk dirinya, namun aku berusaha menghubunginya terus melalui sms dan telepon. Awalnya tidak ada balasan, telepon pun tidak diangkat. Hari demi hari aku habiskan dengan mengkhawatirkannya. Aku cemas dengan keadaannya, namun aku juga takut bila perhatianku ini justru mengganggunya. Lama kelamaan, akhirnya aku bisa mengontaknya melalui telepon. Setiap hari aku sempatkan lima menit untuk mengobrol dengannya dan menyemangatinya. Menjelang keberangkatan untuk magang, aku pamit kepadanya dan memohon maaf karena selama 10 hari ke depan tidak akan bisa meneleponnya. Aku akan tinggal di rumah temanku selama magang, karena itu sungkan rasanya bila harus sembunyi-sembunyi meneleponnya.

Setelah itu aku mendapat kabar bahwa dirinya akan kembali ke Bogor dan mencoba mengusahakan nilai-nilai semester 7 bisa dikeluarkan. Tiba-tiba ia sudah kembali ke Bogor tanpa pemberitahuan. Untung aku berpapasan dengannya. Ia menjadi jauh lebih berisi, namun matanya sayu. Obat yang harus dikonsumsinya menyebabkan ia menjadi sangat mengantuk dan cenderung mudah tertidur. Sehingga aku, sebagai salah satu adik kelas yang mengerti akan kondisinya, berusaha untuk mencegahnya tertidur saat di jalan.

Ia mengidap bipolar complex. Suatu kondisi kejiwaan yang menyebabkan seolah-olah ada lebih dari satu kepribadian di dalam satu tubuh. Aku menyaksikannya sendiri bagaimana tiba-tiba ia bisa berubah dari kepribadiannya yang biasa menjadi sesosok yang sangat asing bagiku. Aku melakukan segala hal yang aku bisa untuk membuatnya menjadi lebih ceria. Tanpa kami berdua sadari, ada kencan-kencan di setiap akhir minggu kami. Aku tahu teman-temannya, orang tuanya, hingga dosen pembimbingnya mengharapkanku untuk bisa mengembalikan semangatnya. Alhamdulillah berkat usahaku, ia mampu bertahan di kampus.

Namun lama-kelamaan aku menjadi letih. Dan ragu akan perasaanku sendiri. Tiba-tiba sosok yang dulu aku kagumi menghilang. Ia digantikan oleh seorang yang pesimis akan kondisinya sendiri. Burung yang dulu terbang tinggi kini perlahan semakin lemah kepakan sayapnya. Saat itu ia hanya mampu terbang rendah, nyaris mengenai permukaan laut. Dulu aku hanyalah seekor ikan di laut dalam yang mengamati sang burung terbang di langit dari bawah permukaan air. Dan meskipun sang burung kini sudah terbang rendah, sekuat apapun sang ikan berusaha mendekat, ia tetap tidak akan mampu bersama sang burung.
Pernah aku bermain ramal-ramalan kartu mengenai masalah perasaanku ini dengan salah seorang temanku. Hasilnya, teman-temannya setuju dengan hubungan kami, teman-temanku juga, orang tua, bahkan hingga dirinya pun juga menyukaiku. Hanya satu kartu yang tidak terbuka: kartu yang melambangkan diriku. Aku memang bingung dengan perasaanku sendiri. Di satu sisi, aku sangat ingin mendukungnya hingga ia pulih. Di sisi lain, aku sangat letih dengan kepesimisan ini. Masa depan kami yang dulu selalu terbayang-bayang, perlahan-lahan semakin pudar hingga tidak terlihat lagi. Visi kami berbeda.

Saat itu lah aku mulai menyadari keberadaanmu.
Awalnya aku mengenalmu tak lebih dari seorang kakak kelas yang sangat supel dan sangat dekat dengan adik-adik kelasnya. Seseorang yang sangat suka fotografi, namun karyanya di mataku saat itu masih biasa saja. Tidak bernyawa. (maaf ini hanya opini pribadi saat aku pertama melihat karyamu). Tapi tanpa aku sadari, aku dulu pernah blogwalking ke blogmu. Tanpa tau siapa pemiliknya, hanya sekedar "sepertinya kenal". Aku baru 'ngeh' pada sosokmu yang memimpin jalannya RUA. Saat itu aku seperti melihat sosok yang bisa diandalkan dan berwibawa.

Yang jelas kesan umumku terhadapmu adalah kamu merupakan sosok yang disukai banyak orang, meskipun ada beberapa yang jelas tidak senang dengan sikapmu yang seolah intim dengan banyak adik kelas.

Awal percakapan benar-benar kita itu mungkin saat aku mendengar kabar mengenai rencana pembuatan film antara kamu dan Abay. Aku sangat berharap bisa berpartisipasi, karena salah satu impianku adalah membuat film dan skenarioku sendiri. Sayangnya, saat kita bertemu, aku sedikit kecewa karena apa yang ada dalam bayanganmu dan apa yang ada dalam bayanganku jauh berbeda. Ujung-ujungnya skenario pun tergeletak tanpa pernah dilakoni.
Begitu pula saat kamu mengajakku untuk menulis novel. Bayanganku sangat jauh, jauh sekali dari kenyataan. Tidak ada seleksi naskah, tidak ada koreksi materi, tidak ada kriteria apapun, bahkan kita harus menjual novel itu sendiri. Tidak masalah bagiku seandainya naskah berisi fiksi. Editor bersikeras naskah harus berisi kejadian nyata. Belakangan aku tahu, fiksi diperbolehkan.
Aku bertahan di ATD hanya untuk menunaikan tugasku. Jujur dari awal aku tidak memiliki chemistry dengan para anggotanya. Aku hanya suka menulis, namun sepertinya idealismeku dengan anggota lain sangat berbeda.
Oh ya, beberapa hari belakangan ini aku jadi tahu mengapa dulu aku tidak mempertahankan keanggotaanku di komunitas itu. Aku baru tahu bahwa kamu punya impian untuk menulis novel bersama mantanmu. Syukurlah bisa terwujud saat kamu bersamaku ya. Aku tidak tahu harus senang atau sedih.

Memang ada yang aneh sesaat setelah kamu memintaku jadi pacarmu. Tanpa aku pernah tanya, kamu menjelaskan keadaanmu saat itu. Bahwa untukmu, mantan adalah investasi masa depan (aku lupa istilahmu). Oleh karena itu hingga saat itu kamu berkata bahwa kamu masih menjalin hubungan baik dengan mantanmu. Bagiku hal itu tidak jadi masalah. Toh aku pun masih menjalin hubungan baik pula dengan dua orang mantanku. Kami berteman.
Namun aku tidak pernah menyangka bahwa 'menjalin hubungan baik' itu lebih dari sekedar teman. Ia sudah seperti keluarga, katamu. Kamu khawatir ia belum bisa move on setelah putus darimu, sampai akhirnya ketika kamu tahu ia sudah punya pacar baru, kamu merasa lega. Belakangan aku tahu, yang terjadi justru sebaliknya.
Kamu yang belum bisa move on, mungkin tidak akan pernah. Seperti yang dari awal aku rasakan ketika kamu meminta izinku. Bayang-bayangnya akan tetap ada. Aku membaca tulisannya, dan aku tahu dia memang lebih memilih hidupnya daripada kamu. Aku melihat diriku yang dulu di tulisannya.
Dulu aku memang lebih mementingkan hidupku, apa yang ingin aku capai, apa yang ingin aku lakukan. Aku memang orangnya seringkali berlaku spontan. Kadang aku letih jika harus merencanakan sesuatu dengan sangat seksama namun ujung-ujungnya tidak jadi. Sampai akhirnya kamu memintaku untuk berubah. Kita pacaran, harus saling mengisi. Aku harus berubah menjadi lebih baik, atau baik menurutmu. Karena jika kamu yang mengikuti cara hidupku, kamu tidak akan bisa.

Membaca tulisanmu, aku jadi sedikit sedih. Entah kenapa, aku merasa kamu yang dulu lebih baik daripada kamu yang kini bersama aku. Apakah ini gara-gara aku?  Aku merasa gagal sebagai pacarmu. Ternyata aku sangat banyak menyusahkanmu. Pun, bayang-bayangnya masih juga belum lepas hingga saat ini. 

Aku jadi ingat saat dulu aku bingung dengan perasaanku sendiri dan meminta tolong salah seorang teman untuk 'membaca' perasaanku, perasaanmu, dan perasaan kakak kelasku yang dulu kukagumi. Saat itu, temanku bilang bahwa yang benar-benar mencintaiku adalah kakak kelasku itu. Ia sama sepertiku, mencintaiku dalam diam. Ia menunggu waktu yang tepat. 
Mengenai perasaanmu? Temanku berkata, bahwa sesungguhnya kamu tidak benar-benar tertarik denganku. Kamu masih meninjau. Observasi. Oleh karena itu aku sempat menjauh meskipun aku bersikeras tidak percaya akan perkataan temanku. Jujur saat itu aku merasa sangat berdosa kepadanya, merasa bersalah karena membuatnya cemburu dengan makan siang bersamamu dan pulang bersamamu. Namun tanpa disangka, kamu terus maju.

Setelah membaca buku harianmu, baru lah aku tahu bahwa apa yang dulu disampaikan temanku benar adanya. Memang saat itu ada beberapa pilihan. Mungkin pilihan jatuh kepadaku karena aku yang bertahan dan mudah digapai. apalagi saat itu aku rapuh.
Mungkin. Aku tidak tahu.

Aku tahu kamu paling tidak suka bila aku membicarakan masalah ramalan atau prediksi apapun, karena menurutmu pilihan yang kita buat semua tergantung dari diri kita sendiri. Tanpa ada pengaruh hal-hal seperti itu. Sudahlah, lupakan.

Aku tidak menyesal dengan hubungan kita meski aku tahu faktanya tidak seindah apa yang ada di bayanganku. Terima kasih sudah mau belajar mencintai diriku. Terima kasih telah membuatku berubah menjadi lebih baik. Maaf aku belum bisa jadi wanita yang paling baik. Maaf bila aku justru membuatmu menjadi lebih buruk. Maaf bila aku jauh dari harapanmu.

Kalau boleh jujur, dengan mengetahui fakta-fakta yang seharusnya tidak aku ketahui, aku sedikit merasa sedih. Karena aku tahu, jika aku memilih untuk meninggalkanmu, kamu akan merelakanku. Kamu tidak akan mengejarku. Aku sedih karena ternyata, hal-hal yang dulu biasa kamu lakukan untukku, tanpa kita berdua sadari, perlahan-lahan membuatmu lelah. Lalu kamu akan marah ketika kamu lelah. Dan aku juga akan menjadi marah dan sedih.

Hubungan ini penuh dengan emosi. Aku tahu itu.
Aku tidak akan mengungkit apa yang ada di dalam jurnalmu dan menjadikannya sebagai alasan apapun. Tidak. Karena sebenarnya itu bukan hakku untuk membacanya. Namun kamu percaya dan mengizinkanku untuk membacanya.

Hanya saja, aku berharap satu hal.
Bila nanti tiba waktunya, entah pada saat itu kamu masih bersamaku atau justru bersama orang lain, jadilah lelaki yang kuat dan optimis. Wanita mana pun pasti ingin pendamping yang memiliki hati yang lapang, yang memiliki impian dan kemauan untuk meraihnya tanpa putus asa.
Tugas seorang pria adalah berusaha dan percaya, bahwa ia mampu membahagiakan keluarganya. Wanita akan mendukungnya dengan segala yang ia punya, dengan mengorbankan semua yang ia bisa dapatkan tanpa dirimu hanya untuk berkata "jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Ada aku di sampingmu." Jangan pernah menimpakan kesalahan dan kemarahan pada wanitamu, kamu tidak tahu bagaimana usahanya untuk membahagiakanmu.

"A woman can never be good enough for a man that isn't ready."

Oleh karena itu, persiapkan dulu dirimu.

Mungkin itu saja yang ingin aku ceritakan. Terima kasih atas segala rasa.


Salam sayang,

(belum) Khairunisa



p.s. aku sudah move on darinya. Yang aku rasakan kini setiap bertemu dengannya adalah rasa syukur karena banyak teman-temannya yang lebih mampu mendukungnya daripada aku.

No comments: