Friday, February 03, 2012

15 Minutes Conversation


15 Minutes Conversation

“Halo, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawabmu pendek.
“Apa kabar?”
“Aku merasa normal.”
“Merasa normal?” Aku mengulum senyum. “Memangnya kamu tidak normal?”
“Kata orang aku tidak normal.”
“Itu kan kata orang, bagaimana menurutmu?”
“Aku merasa baik-baik saja. Namun orang-orang tetap menyuruhku minum obat.”

Aku diam.
“Aku terdengar cadel nggak?”
“Nggak tuh. Memang kenapa?”
“Gara-gara obat ini lidahku jadi cadel.”
“Aku mendengarmu normal.”
“Benarkah?”
“Ya. Percayalah padaku.”

Lalu keheningan kembali mengisi percakapan kami. Percakapan ini tidak pernah terpikir akan menjadi rutinitas di antara aku dan dia. kami tak pernah terbiasa meluangkan waktu untuk bercakap-cakap, namun kini aku setidaknya berusaha untuk menghubunginya beberapa hari sekali.

“Aku rindu kampus kita.” ucapnya memecah keheningan. “Aku bosan di sini.”
“Kembalilah kalau begitu. Kapan kamu akan kembali?”
“Maret, mungkin. Atau April.”
“Secepat itu?”
“Ya, ada banyak urusan yang tertunda di sana.”
“Kamu sudah siap kembali?”
“Entahlah.”

Aku menghela napas.
“Mantapkan dulu hatimu. Aku tidak mau kamu mengulangi kesalahan yang sama.”
“Setidaknya aku masih punya orang yang akan mendukungku bukan? Benar begitu, Alina?”

Aku tersenyum getir. Bicara apa dia ini.
“Kau tahu pasti aku akan mendukungmu. tapi hanya jika kamu benar-benar mantap. Aku tidak mau aku jadi gila karenamu.”
“Memang aku bisa membuatmu gila?”
“Sekarang pun rasanya aku sudah gila karenamu.”
“Hahaha…” Dirimu tertawa. “Jangan begitu.”
“Kalau begitu maka cepatlah sembuh, lalu kembali ke sini. Kau tahu aku menunggu.”
“Aku tahu.”

“Alina, kamu mau sampai kapan duduk di pojokan seperti itu?”
Aku menoleh. Di ambang pintu kamarku, Ibu berdiri sambil berkacak pinggang. Aku tersenyum.
“Daripada kamu melamun seperti itu, lebih baik kamu bantu Ibu!”
“Ibu, aku sedang menelepon.” jelasku.
“Menelepon siapa? Lihat tanganmu, kamu bahkan tidak memegang telepon genggam.”

Aku menatap kedua belah tanganku. Benar juga, satu-satunya benda yang kupegang hanyalah secarik kertas bertuliskan deretan angka.
“Alina, sudahlah, berhenti berlaku seperti itu. Ibu khawatir kalau Ibu harus membawamu ke psikiater.”
“Hahaha…” Aku hanya tertawa getir. “Ibu, tampar aku jika aku berlaku seperti ini lagi.”

“Aku tidak ingin gila, Ibu. Namun aku lelah karenanya.”

Ibu memelukku erat. “Jangan khawatir Alina sayang, Ibu pastikan untuk menjagamu. Bertahanlah.”

Aku mengangguk pahit.

15 menit percakapan kita
Rupanya hanya khayalan semata.



No comments: