Sunday, February 05, 2012

maaf

jika saja aku
diberi kesempatan sekali lagi untuk berbicara denganmu
maka aku akan meminta maaf dari lubuk hatiku yang terdalam
jikalau sekiranya aku punya salah (yang aku yakin pasti ada)
jikalau sekiranya aku sangat mengganggumu
jikalau aku membuatmu membenciku

jika saja aku
diberi kesempatan sekali lagi untuk berbicara denganmu
maka aku akan berterima kasih dari lubuk hatiku yang paling jujur
karena darimu aku belajar untuk mensyukuri alam ini
karena darimu aku belajar untuk mencinta tanpa pamrih
karena darimu aku belajar banyak hal mengenai hidup

jika saja aku
diberi kesempatan sekali lagi untuk berbicara dan bertemu denganmu
maka kali ini tak akan ragu aku untuk
mengatakan perasaanku yang sebenarnya
mengutarakan isi hati yang terpendam lebih dari dua tahun lamanya
bahwa aku menyayangimu

entah sebagai kakak, sahabat, atau murni sebagai lelaki
yang ku tahu hanya ada dirimu dalam masa depanku
hanya ada sosokmu yang kuinginkan di sampingku

namun semua itu tak akan bisa terjadi

bila aku tak bisa berbicara denganmu lagi
maka kumohon,
usai lah marahmu, hapuskan egomu
terima teleponku

karena aku sungguh mengkhawatirkanmu kawan.

maafkan aku karena kelancanganku
aku hanya ingin kau tahu bahwa aku peduli.

(5 Februari 2012, untuk dirimu.)

Friday, February 03, 2012

15 Minutes Conversation


15 Minutes Conversation

“Halo, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawabmu pendek.
“Apa kabar?”
“Aku merasa normal.”
“Merasa normal?” Aku mengulum senyum. “Memangnya kamu tidak normal?”
“Kata orang aku tidak normal.”
“Itu kan kata orang, bagaimana menurutmu?”
“Aku merasa baik-baik saja. Namun orang-orang tetap menyuruhku minum obat.”

Aku diam.
“Aku terdengar cadel nggak?”
“Nggak tuh. Memang kenapa?”
“Gara-gara obat ini lidahku jadi cadel.”
“Aku mendengarmu normal.”
“Benarkah?”
“Ya. Percayalah padaku.”

Lalu keheningan kembali mengisi percakapan kami. Percakapan ini tidak pernah terpikir akan menjadi rutinitas di antara aku dan dia. kami tak pernah terbiasa meluangkan waktu untuk bercakap-cakap, namun kini aku setidaknya berusaha untuk menghubunginya beberapa hari sekali.

“Aku rindu kampus kita.” ucapnya memecah keheningan. “Aku bosan di sini.”
“Kembalilah kalau begitu. Kapan kamu akan kembali?”
“Maret, mungkin. Atau April.”
“Secepat itu?”
“Ya, ada banyak urusan yang tertunda di sana.”
“Kamu sudah siap kembali?”
“Entahlah.”

Aku menghela napas.
“Mantapkan dulu hatimu. Aku tidak mau kamu mengulangi kesalahan yang sama.”
“Setidaknya aku masih punya orang yang akan mendukungku bukan? Benar begitu, Alina?”

Aku tersenyum getir. Bicara apa dia ini.
“Kau tahu pasti aku akan mendukungmu. tapi hanya jika kamu benar-benar mantap. Aku tidak mau aku jadi gila karenamu.”
“Memang aku bisa membuatmu gila?”
“Sekarang pun rasanya aku sudah gila karenamu.”
“Hahaha…” Dirimu tertawa. “Jangan begitu.”
“Kalau begitu maka cepatlah sembuh, lalu kembali ke sini. Kau tahu aku menunggu.”
“Aku tahu.”

“Alina, kamu mau sampai kapan duduk di pojokan seperti itu?”
Aku menoleh. Di ambang pintu kamarku, Ibu berdiri sambil berkacak pinggang. Aku tersenyum.
“Daripada kamu melamun seperti itu, lebih baik kamu bantu Ibu!”
“Ibu, aku sedang menelepon.” jelasku.
“Menelepon siapa? Lihat tanganmu, kamu bahkan tidak memegang telepon genggam.”

Aku menatap kedua belah tanganku. Benar juga, satu-satunya benda yang kupegang hanyalah secarik kertas bertuliskan deretan angka.
“Alina, sudahlah, berhenti berlaku seperti itu. Ibu khawatir kalau Ibu harus membawamu ke psikiater.”
“Hahaha…” Aku hanya tertawa getir. “Ibu, tampar aku jika aku berlaku seperti ini lagi.”

“Aku tidak ingin gila, Ibu. Namun aku lelah karenanya.”

Ibu memelukku erat. “Jangan khawatir Alina sayang, Ibu pastikan untuk menjagamu. Bertahanlah.”

Aku mengangguk pahit.

15 menit percakapan kita
Rupanya hanya khayalan semata.



Sepucuk Surat Yang Tak Terkirim

Ketika tekadku bulat untuk meninggalkanmu,
Ketika mantap hatiku untuk fokus pada hidupku sendiri,
kabar itu datang.

Kalau kau ingin tahu apa rasanya, sungguh kabar itu bagai petir di siang bolong.
Tak terduga.

Kupikir jika selama ini kita jarang bertemu, itu hanya semata karena dirimu yang terlalu sibuk dengan urusanmu, dan aku yang sibuk dengan urusanku.
Lalu temanmu memberitahuku, bahwa dirimu tak pernah lagi hadir di kampus kita tercinta. Tak lagi ikut ujian. Dirimu sakit, ucapnya.

Kau tahu betapa cemasnya aku? Betapa khawatirnya diriku?

Dan ketika akhirnya aku bertemu denganmu (yang perlu kau tahu, susahnya minta ampun), kamu bilang padaku bahwa kamu memang sakit.
Sakit jiwa.

Tahukah kamu bahwa saat itu mati-matian aku menahan emosi dan air mata?
Saat itu aku marah kepadamu. Marah karena kamu tidak pernah bilang apa-apa. Marah karena aku tidak pernah menyadarinya. Marah karena tiba-tiba kamu bilang kamu harus pergi--cuti kuliah 2 semester.

Dan dirimu hanya tersenyum lemah, seraya mengucap kata terima kasih.
Bagaimana aku bisa marah kepadamu?

Aku kalut.
Ingatkah dirimu, kak? Saat itu pertama kalinya aku marah kepadamu, ketika biasanya aku selalu saja tersenyum.
Saat itu aku setengah berteriak kepadamu, mungkin suaraku tidak keras, namun setidaknya nadaku seolah menghardikmu. Maaf.
Aku bilang, mengapa kamu tidak pernah bilang apa-apa? Mengapa tidak pernah berbagi masalahmu? Mengapa tidak pernah cerita kepada orang lain? Padahal banyak sekali orang yang khawatir denganmu. Banyak sekali orang yang sayang kepadamu.
Aku dan teman-temanmu yang lain, selalu berusaha menguatkan dirimu. Karena kita senasib, dan kita harus saling menguatkan.

Maka kuatlah kak, kuatlah
Aku tahu kamu bukan laki-laki yang lemah
Laki-laki yang dulu kukenal adalah laki-laki yang di matanya terpancar semangat dan rasa keingintahuan
Yang dari bibirnya selalu mengalir lagu-lagu bernada indah
Yang meski selalu diam, namun kala ia bicara selalu mengalir kata-kata bijak dan cerdas

Kuatlah kak,
Kamu tak sendiri
Aku akan selalu ada, begitu pun teman-teman yang lain
Adik-adik kelasmu yang selalu kagum padamu
Kakak-kakak kelasmu yang menyayangi adik kelasnya satu ini
Teman-teman yang selalu mendukung dan menyemangatimu

Ingatlah,
manusia tidak hidup sendiri
Dan apabila kamu tak sanggup menghadapi masalahmu sendiri
Meminta bantuan orang lain bukan berarti lemah


Kuatlah,
karena aku di sini pun mencoba untuk kuat
Mencoba untuk bertahan dan memutuskan untuk percaya

Dan kini, semua tergantung kepadamu
Selamat berjuang
Kami mendoakan kesembuhanmu
Aku berjuang melawan rindu


Dan saat nanti dirimu kembali,
Yakin lah,
Aku akan tetap di tempat itu dan menunggumu


(untuk laki-lakiku tersayang)